Revolusi Sosial di Surakarta
fms on October 20th, 2008
Revolusi sosial surakarta berlangsung beberapa bulan setelah kemerdekaan Indonesia, dimana golongan sosialis sangat berperan sekali dalam keruntuhan kerajaan tua di Jawa tersebut. Pada tanggal 16 Juni 1946 Karesidenan Surakarta secara resmi mulai berdiri. Oleh pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta, Karesidenan Surakarta ini membawahi Kotamadya Surakarta, Kabupaten Karang Anyar, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali.
Terbentuknya Karesidenan Surakarta, yang diikuti berdirinya Pemerintahan Daerah Kotamadya Surakarta, secara otomatis menghapus kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegara.
Nasib tragis yang menimpa Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegara ini berbanding terbalik dengan dua saudara mudanya yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, yang hingga kini masih menikmati “status” sebagai Daerah Istimewa.
Surakarta sebenarnya pernah juga “mencicipi” status sebagai Daerah Istimewa. Seperti juga Sultan Hamengkubuwana IX, Pakubuwana XII juga menandatangani pernyataan yang menyebutkan bahwa Kraton Surakarta berdiri di belakang RI. Seperti juga Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta pun lantas diberi status sebagai Daerah Istimewa Surakarta (DIS) dengan Pakubuwana XII sebagai Kepala Daerah.
Bedanya, jika daerah Kasultanan Yogyakarta dan Kadipatan Pakualaman hingga kini masih menikmati status sebagai Daerah Istimewa, Surakarta hanya menikmati status sebagai Daerah Istimewa hingga 16 Juni 1946 menyusul ditetapkannya Karesidenan Surakarta dan Pemerintah Daerah Kotamadya Surakarta.
Tetapi proses delegitimasi Kraton Surakarta sudah dimulai berbulan-bulan sebelummnya. Pada Otober 1945 terbentuk gerakan swapraja yang menggelar kampanye anti-monarki dan feodalisme di Surakarta. Gerakan yang menyebut-nyebut nama Tan Malaka sebagai salah satu pemimpinnya itu tak hanya memasang target untuk membubarkan DIS, tapi juga menginginkan dicabutnya beragam privilege yang dimiliki Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegara. Kelompok ini berharap bisa mengambil alih tanah-tanah yang dikuasai dua monarki itu dan membagikannya pada para petani.
Kelompok inilah yang ada di balik serangkaian kerusuhan, kekacauan dan kekerasan di Surakarta. Pada Oktober itu juga, penasihat Sunan Pakubuwana XII, KRMH Sosrodiningrat, diculik dan dibunuh. Bupati-bupati di Daerah Istimewa Surakarta yang masih kerabat Kraton diturunkan oleh massa. Pada April 1946, penasihat Sunan yang baru, KRMT Yudonagoro, juga diculik dan dibunuh bersama sembilan pejabat di Kepatihan.
Bayangan revolusi sosial di Sumatera Timur yang merenggut banyak sekali bangsawan Melayu membayang di Surakarta. Pemerintah RI akhirnya turun tangan dan mengirimkan pasukan untuk menjaga Kraton Surakarta. Tapi tak berhenti di situ, pemerintah RI menindaklanjuti situasi yang tak terkendali dengan mengeluarkan beleid pembentukan Karesidenan Surakarta dan Kotamadya Surakarta. Daerah Istimewa Surakarta pun berakhir dengan tragis.
Pada bulan-bulan pertama kemerdekaan, Yogyakarta dan Surakarta memang berada pada dua situasi yang berbeda. Pemindahan ibukota RI dari Jakarta ke Yogyakarta membuat situasi politik dan keamanan Yogyakarta relatif lebih terkendali. Sementara di Surakarta, rangkaian kerusuhan dan kekerasan sosial pelan tapi pasti membuat proses delegitimas Kraton Surakarta berjalan lebih cepat.
Hal lain yang membuat cepatnya delegitimasi itu adalah keberadaan Surakarta sebagai salah satu daerah yang paling riuh dan bergolak sepanjang periode pergerakan nasional. Sarekat Islam, Insulinde hingga Sarekat Hindia secara sistematis menyelipkan retorika anti-monarki dalam kampanye anti-kolonialisme yang mereka gelar.
Pada awal 19 Mei 1919, dalam salah satu pidato di Volksraad, Dr. Tjiptomangoenkoesoemo dengan terang-terangan menuntut agar raja beserta aparatnya di Surakarta dipensiunkan saja. Tjipto bahkan mengusulkan agar Sunan Pakubuwana dan Pangeran Mangkunegara diberi dana pensiun sebesar 2000 gulden, 27 tahun kemudian, beberapa hal yang diinginkan Tjipto terwujud, sayangnya itu didahului oleh jatuhnya korban kekerasan. seandainya sejarah boleh berangan-angan Surakarta masih berada dalam genggaman Raja yang sah dalam lingkungan keraton seperti Jogyakarta, akan berbedakah wajah kota spirit of java tercinta ini seperti sekarang dimana bangunan-bangunan simbol liberalisme dan imperialisme yang berlindung dalam nama globalisasi dunia yang angkuh menggantikan jiwa-jiwa bangunan bernilai sejarah tinggi..
Tapi sejarah adalah fakta dan bukan sekadar kata-kata apalagi angan-angan tanpa makna…
Mengembalikan Daerah Istimewa Surakarta
18 Januari 2010 in Risalah
Tags: GRAy Koesmoertiyah, Kooti, Volksgemmenschappen, zelfbesturende landschappen
Oleh: GRAy Koesmoertiyah*
Berdasarkan pasal 18 UUD 1945 yang disusun oleh BPUPKI dan disahkan PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 dinyatakan Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang sifatnya istimewa.
Bahwa berdasarkan rapat PPKI tanggal 19 Agustus 1945 wilayah Republik Indonesia dibagi atas delapan propinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sunda Kecil, dan Sumatera serta dua Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta.
Bahwa, pada tanggal 18 Agustus 1945 Susuhunan Paku Buwono XII dan KGPAA Mangkunegoro VIII menyampaikan kawat dan ucapan selamat atas Kemerdekaan Indonesia diikuti maklumat dukungan berdiri di belakang Republik Indonesia pada tanggal 1 September 1945 yang intinya berisi:
1. Negeri Surakarta yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia dan berdiri di belakang Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia.
2. Hubungan Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung.
Atas dasar maklumat itu, Presiden Soekarno pada 19 Agustus 1945 memberikan piagam kedudukan kepada Susuhunan Paku Buwono XII dan KGPAA Mangkunegoro VIII pada kedudukan sebagai kepala Daerah Istimewa.
REPUBLIK INDONESIA
Kami, PRESIDEN REPUBLIK Indonesia, menetapkan:
Ingkang Sinohoen Kandjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono, Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sajidin Panotogomo, Ingkang Kaping XII ing Soerakarta Hadiningrat.
Pada kedoedoekannja
dengan kepertjajaan, bahwa Seri Padoeka Kandjeng Soesoehoenan akan mentjurahkan segala pikiran, tenaga, djiwa dan
raga oentoek keselamatan daerah Soerakarta sebagai bagian dari pada Repoeblik Indonesia.
Djakarta, 19 Agoestoes 1945
Presiden Repoeblik Indonesia
ttd
Ir. Soekarno
REPUBLIK INDONESIA
Kami, PRESIDEN REPUBLIK Indonesia, menetapkan:
Kandjeng Goesti Pangeran Adipati Arjo Mangkoenagoro, Ingkang Kaping VIII.
Pada kedoedoekannja
dengan kepertjajaan, bahwa Seri Padoeka Kandjeng Soesoehoenan akan mentjurahkan segala pikiran, tenaga, djiwa dan
raga oentoek keselamatan daerah Soerakarta sebagai bagian dari pada Repoeblik Indonesia.
Djakarta, 19 Agoestoes 1945
Presiden Repoeblik Indonesia
ttd
Ir. Soekarno
Bahwa dengan adanya pasal 18 UUD 1945, keputusan PPKI dan piagam kedudukan yang dikeluarkan Presiden RI, Negeri Surakarta Hadiningrat yang pada masa pendudukan Belanda mempunyai status sebagai zelfbesturende landschappen dan berubah nama menjadi Kooti pada masa pendudukan Jepang, statusnya tak berubah yaitu tetap sebagai daerah dengan susunan asli di luar tiga propinsi yang ada di Jawa yakni Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kedudukan penguasa Negeri Surakarta yaitu Susuhunan Paku Buwono XII adalah setingkat Gubernur dengan posisi berada langsung di bawah Pemerintah Pusat.
A. Kedudukan Daerah Istimewa Surakarta Secara Hukum
Swapraja adalah pemerintahan asli yang kedudukan hukumnya pertama-tama berdasarkan atas hukum asli pula, tapi kemudian sebagian statusnya tercantum dalam suatu Politik Kontrak.
Politik kontrak merupakan perjanjian untuk menentukan batas-batas hak dan kewajiban antara Pemerintah (Pusat) dan swapraja dan dengan adanya politik kontrak, maka daerah pemerintah asli dalam tata negara Hindia Belanda dinamakan dan dan mempunyai status zelfbesturende landschappen. Status tersebut berbeda dengan daerah otonom biasa sehingga penyelesaiannya harus juga berbeda.
Dalam pasal 18 UUD 1945 disebutkan “…daerah-daerah yang bersifat istimewa” atau dalam pasal 18 huruf B hasil amandemen UUD 1945 telah diubah dikatakan “Satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.”
Daerah-daerah yang disebutkan dalam Pasal 18 UUD 1945 (sebelum diamandemen) meliputi landschappen dan Adatgemenschappen. Sedangkan dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945 disebutkan dalam territoir negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 zelfbesturende landschappen dan Volksgemmenschappen.
Daerah-daerah tersebut mempunyai susunan asli, dan karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dengan segala peraturan yang mengenai daerah itu akan mengingat hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Dengan demikian, berdasarkan UUD 1945, kedudukan swapraja atau Daerah Istimewa tetap dijamin, dengan tidak ada kemungkinan dihapuskan.
B. Lahirnya Penetapan Pemerintah No 16/SD Tahun 1946
Bahwa memasuki 1946, Daerah Istimewa Surakarta muncul gejolak politik yang dimotori kelompok kiri. Muncul aksi-aksi sepihak berupa penculikan dan pembunuhan terhadap pejabat-pejabat Daerah Istimewa Surakarta. Ujung dari
gerakan itu adalah munculnya Pemberontakan PKI Madiun 1946. Perdana Menteri Syahrir pernah mengalami penculikan saat mengadakan kunjungan kerja ke Surakarta.
Menghadapi situasi tersebut, Pemerintah Daerah Istimewa Surakarta meminta Pemerintah Pusat yang berkedudukan di Jogjakarta mengambil tindakan. Dilakukan serangkaian pembicaraan antara Wakil Pemerintahan Daerah Istimewa Surakarta yang dipimpin KRMH Woerjaningrat dengan Perdana Menteri Syahrir di Gedung Bank Indonesia Surakarta.
Beberapa hari sebelum rapat, Perdana Menteri Syahrir dan Woerjaningrat telah membicarakan sebab-sebab timbulnya gerakan pengacau. Dari pembicaraan itu akhirnya dapat diduga gerakan-gerakan yang timbul bukan dari rakyat, melainkan dari golongan-golongan atau perorangan saja dan Daerah Istimewa Surakarta hanya menjadi batu loncatan untuk menentang kekuasaan Pemerintah Pusat Republik Indonesia.
Dugaan itu ternyata benar, terbukti dengan adanya usaha-usaha menghentikan kekuasaan Gubernur Soerjo dan Soetardjo sebagai wakil-wakil Pemerintah Republik Indonesia di Surakarta, penculikan terhadap Perdana Menteri Syahrir dan pemberontakan PKI Muso.
Untuk mengatasi keadaan itu, sebagai wakil pemerintah Daerah Istimewa Surakarta, Woerjaningrat mengusulkan agar jalannya Pemerintahan Daerah Istimewa Surakarta diambil alih pemerintah Pusat dan bila situasinya sudah aman dikembalikan lagi.
Sebagai realisasi dari usulan Woerjaningrat yang juga tokoh BPUPKI itu, pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah no 16/SD Tahun 1946 tanggal 15 Juli 1946 tentang Pemerintahan di Daerah Istimewa Surakarta dan Jogjakarta.
Bahwa pada pasal kedua Penetapan Pemerintah no 16/SD tahun 1946 itu dinyatakan:
Sebelum bentuk susunan pemerintahan daerah Kasunanan dan Mangkunegaran ditetapkan dengan Undang-undang, maka daerah tersebut untuk sementara waktu dipandang merupakan Karesidenan, dikepalai oleh seorang Residen yang
memimpin segenap pegawai pamong praja dan polisi serta memegang segala kekuasaan sebagai seorang Residen di Jawa dan Madura.
Sedangkan pasal enam dinyatakan:
Pemerintahan di daerah-daerah Surakarta dan Jogjakarta berada langsung di bawah pimpinan Pemerintah Pusat.
Membaca Penetapan Pemerintah no 16/SD tahun 1946 tersebut hanya untuk sementara waktu memandang daerah Surakarta yang bersifat istimewa sebagai Karesidenan sebelum bentuk dan susunannya ditetapkan dengan undang-undang.
Dalam hal ini tak ada maksud dan tujuan Pemerintah Pusat untuk menghapuskan daerah Surakarta yang bersifat istimewa. Di samping itu, Daerah Surakarta yang dipandang sebagai Karesidenan masih mempunyai sifat istimewa tercermin dalam kata-kata “Pemerintahan di daerah-daerah Surakarta dan Jogjakarta berada langsung di bawah pimpinan Pemerintah Pusat” dan secara de fakto sifat istimewa tersebut masih terus diakui.
Sifat istimewa dari Daerah Surakarta tak mungkin dapat dihapuskan karena ketentuan itu ada dalam pasal 18 UUD 1945. Adanya kesadaran bahwa persatuan dan kesatuan bangsa harus tetap ditegakkan. Juga adanya Piagam kedudukan dari Presiden Republik Indonesia kepada Susuhunan Paku Buwono XII sebagai kepala Daerah Istimewa Surakarta yang diberikan melalui Menteri Negara Mr. Sartono.
Bahwa sampai sekarang janji pemerintah pusat menerbitkan undang-undang untuk Daerah Istimewa Surakarta sebagaimana tercermin dari Penetapan Pemerintah no 16/SD tahun 1946 sampai sekarang belum direalisasikan. Janji itu sesungguhnya merupakan utang pemerintah kepada Daerah Surakarta yang punya sifat istimewa.
*Penulis adalah anggota Komisi II DPR RI. Makalah disampaikan pada Diskusi tentang “Wacana Pembentukan Propinsi Daerah Istimewa Surakarta.” Museum Ronggowarsito Semarang, Yayasan Putra Budaya Bangsa, 16 Januari 2010.
Surakarta Jadi Daerah Istimewa 19-12-2009
Yogyakarta, Republika - Raja Kraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengatakan persoalan keinginan sebuah daerah ingin menjadi daerah istimewa, kewenangannya ada di pemerintah pusat. Begitu juga, kalau ada kehendak dari krabat Kraton Surakarta untuk membentuk Daerah Istimewa Surakarta, di bekas wilayah kerajaan tersebut, tuturnya.
''Saya tak bisa punya komentar (tentang keinginan itu), karena itu adalah urusan pemerintah pusat,'' kata Sultan Sabtu (19/12), saat ditemui usai menghadiri peringatan Dies Natalis ke-60 UGM di Kampus Bulaksumur, Sleman.
Berkaitan dengan daerah istimewa tersebut, kata Sultan lagi, semuanya menjadi urusan pemerintah pusat.''RUUK DI Yogyakarta (Rancangan Undang-undang Keistimewan) DIY juga urusan pemerintah pusat,'' katanya.
Bukankah kerabat Kraton Surakarta minta dukungan Sultan untuk rencana pembentukan DI Surakarta ini? Sultan menjawab sampai saat ini ia kembali mengatakan permasalahannya adalah urusan pemerintah pusat. Sultan juga mengaku ia belum mempelajari apakah secara historis, apakah krabat Kraton Surakarta berhak menuntut pembentukan DI Surakarta di bekas wilayah Kraton Surakarta.
''Enggak tahu saya, itu kan urusan pemerintah pusat,'' katanya.''RUUK DIY saja belum jadi. Jadi saya tak punya komentar. Jadi terserah pemerintah pusat saja apa keputusannya.''
Sultan sendiri mengaku ia belum tahu apakah sudah ada permintaan resmi dari kerabat Kraton Surakarta, agar Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta bersama-sama mengurus permasalahan keistimewaan daerah masing-masing. ''Wah itu, saya tak tahu,'' kata Sultan HB X, yang juga Gubernur Provinsi DI Yogyakarta.
Bukankah krabat Surakarta sudah resmi mengirim surat meminta dukungan Sultan. ''Enggak. (Saya) belum ketemu,'' jawabnya.
Sebelumnya, rencana krabat Kraton Surakarta akan mengurus kembali agar daerah bekas kerajaan itu bisa kembali menjadi daerah istimewa disampaikan GRAy Koesmoertiyah, salah satu putri almarhum Paku Buwono XII, raja di Kraton Surakarta.
Bahkan, kata Gusti Koes, untuk menggalang dukungan untuk pembentukan DI Surakarta, krabat Kraton Surakarta akan silaturahmi menemui Sultan Hamengku Buwono X dalam rangka meneguhkan keberadaan daerah istimewa.
''Kami akan sowan ke Sultan (Hemengku Buwono X),'' kata Gusti Moeng, saat berbicara pada diskusi tentang kemungkinan menghidupkan kembali Daerah Istimewa Surakara, Kamis lalu (16/12) di Pusat Studi Kawasan Pedesaan- UGM.Tentang sejarah bahwa DI Surakarta pernah ada, kata Gusti Moeng, tak dapat terbantahkan.
Ia bahkan mengatakan secara yuridis, daerah istimewa dijamin oleh konstitusi. (Jika dibentuk) DI Surakarta bukan seperti daerah pemekaran, tapi berada di wilayah eks Karasidengan Surakarta,'' kata Gusti Moeng.
Menurut dia, sebenarnya DI Surakarta sudah terbentuk sejak awal kemerdekan RI, tinggal membuat undang-undangnya.''Sejarahnya tak berbeda dengan pembentukan DI Yogyakarta,'' kata dia.
Ia mengatakan pementukan DI Surakarta dimulai dengan keluarnya maklumat dari Paku Buwono XII 1 September 1945, yang mengatakan Kraton Surakarta bergabung dengan NKRI dan menjadi daerah istimewa di dalam NKRI.
Dalam maklumat ini, PB XII mengatakan bahwa Negeri Surakarta yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia dan berdiri di belakang Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia.Disebutkannya juga bahwa hubungan Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat bersifat langsung.
Selanjutnya, terhadap maklumat Paku Buwono XII itu, Presiden Soekarno pada 19 Agustus 1945 mengeluarkan piagam kedudukan kepada Paku Buwono XII.
Gusti Moeng juga menjelaskan sebelum maklumat itu keluar, pada sidang PPKI 19 Agustus 1945 telah membagi Indonesia terdiri atas delapan provinsi, Jabar, Jateng, Jatim, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Sunda Kecil dan dua Daerah Istimewa Surakarta dan Jogjakarta.
'Selain itu, katanya, keberadaan daerah istimewa ini juga disebukan dalam UUD 1948, baik sebelum UUD itu diamandemen (pasal 18), begitu juga setelah UUD ini diamandemen (pasal 18 huruf b). ''Jadi dasar hukumnya kuat dan tak mengada-ada,'' tuturnya.
Hanya saja perjalanan DI Surakarta dan DI Yogyakarta belakangan berbeda, karena di daerah Surakarta selanjutnya terjadi pergolakan politik.
Saat itu, kata dia, perkembangan DI Surakarta mengalami gangguan akibat gerakan oposisi kelompok kiri yang dimotori Tan Malaka, sehingga Surakarta dinyatakan dalam keadaan darurat.
Untuk menanggulangi kekecauan itu, PB XII lalu membuat perjanjian politik dengan pemerintah pusat, yang dilanjutkan dengan keluarnya PP No 16/SD tahun 1946.
Dalam PP itu ada janji bahwa untuk sementara kekuasaan DI Surakarta diserahkan kepada pemerintah pusat. Dan bila kekacauan sudah tertanggulangi, maka pemerintah pusat akan mengembalikan lagi kekuasaan itu kepada pemerintah DI Surakarta.
Begitulah, kata Gusti Moeng, sampai saat ini pemerintah pusat belum memenuhi janjinya itu, yakni mengembalikan status DI Surakarta, dengan sekaligus membuat undang-undang tentang Daerah Istimewa Surakarta. (yoe/kpo)
Sumber: Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar